Sunday, September 20, 2015

Interview dengan Brahmanto Anindito, Penulis "Tiga Sandera Terakhir"


Kali ini ThrillerID akan mewawancarai seorang penulis thriller yang baru saja meluncurkan karya terbarunya berjudul "Tiga Sandera Terakhir". Novel terakhirnya ini adalah sebuah thriller militer yang bercerita tentang pasukan khusus militer Indonesia yang melakukan operasi sangat rahasia di pedalaman Papua untuk membebaskan sandera. Bukunya bagus, lho! ThrillerID sudah mengulasnya di link ini.
Brahmanto Anindito, Penulis Tiga Sandera Terakhir

Thanks to Mas Brahm yang sudah meluangkan waktu buat ThrillerID. Sila disimak perbincangannya di bawah ini:
============

Hai, Mas Brahm. Selamat untuk novelnya "Tiga Sandera Terakhir". Thriller militer yg keren! Biasanya sih, kalo interview, pertanyaan pertama, pasti pada nanya inspirasi dapat darimana. Tapi, di buku "Tiga Sandera Terakhir" Mas Brahm dah cerita detil soal itu pada halaman pengantar, hehe. Jadi sekarang, pertanyaannya: berapa lama riset, dan pengerjaan dari awal sampai naskah jadi?

Terima kasih. Di microsite Tiga Sandera Terakhir (www.warungfiksi.net/tiga-sandera-terakhir) juga ada informasi tambahan, lho. Kalau ada waktu, monggo dibaca-baca.

Yang jelas, ide besar cerita ini sudah digulirkan sejak pertengahan 2012. Garapnya aja yang lama. Karena, temanya lebih sulit dibanding novel-novelku sebelumnya, risetnya lebih memeras otak, beberapa kali vakum buat nunggu jawaban atau sekadar izin wawancara yang belum tentu dikabulkan, bolak-balik mengubah outline. Belum lagi, sejak akhir 2013 suhu politik mulai tinggi gara-gara pilpres. Aku emoh novelku dianggap mendukung calon tertentu, Bro! Sehingga, terpaksa vakum dulu.


Draft pertama baru kelar pada medio 2014. Setelah itu, diskusi dengan editor-editornya, revisi, editing ejaan dan bahasa, terus masuk antrean percetakan. Akhirnya, nongol deh pada Juni 2015. Nah, saat itu, pilpres sudah selesai, kan? Sudah tenang. Sebuah karya pun sudah tidak relevan lagi bila dituduh sebagai bagian dari kampanye politik pihak tertentu, hehehe....

Kalau kuperhatikan yah, tema ini sebenarnya, kan, sensitif, karena menyangkut masalah politik yang beneran ada dan masih berlangsung (separatis Papua). Apa nggak ada kekuatiran kalau ini bakal kontroversial? Misalnya dituduh menyinggung SARA, dll? Gimana Mas mengakalinya?

Ah, nggaklah. Dalam novel, nggak ada usaha menyindir atau menjelek-jelekkan suku atau ras tertentu, kok. Kalaupun ada, itu kan opini dari seorang tokoh. Bukan ide keseluruhan cerita. Pesan besar novel ini justru "kemanusiaan", "persatuan", "perdamaian", dan "ajakan untuk sama-sama memajukan Papua".
Tentu kita tidak bisa memuaskan seluruh kalangan pembaca. Kalau Tiga Sandera Terakhir dibaca orang OPM, mungkin mereka menuduhnya sebagai propaganda TNI. Di lain sisi, salah satu narasumberku yang pro-NKRI protes, "Tapi ya TNI jangan dibikin seperti ini, dong! Dukung, dong, negara sendiri!" Terus, editorku juga bilang, "Brahm, kamu ini pendukung idealisme OPM, ya?"
Lho, jadi ini bagaimana? Aku ini pro-OPM atau pro-NKRI, sih? Aku mah apa, atuh? Hahaha.... Tapi sejujurnya, aku cuma ingin menulis dengan cara jurnalis memandang dunia. Diusahakan obyektif dan tidak berpihak. Toh pada akhirnya, ceritaku berangkat dari peristiwa dan tokoh-tokoh riil. Bahkan beberapa adalah dialog-dialog riil! Selama masa riset pun aku mencoba memahami peristiwa penyanderaan oleh OPM itu dari dua sudut pandang yang berlawanan. Dari berbagai versi cerita. Lalu, ditambah bumbu entertainment, jadilah Tiga Sandera Terakhir.

Mengakali supaya tidak dituduh SARA? Mengakali sih mustahil, ya. Aku hanya bisa meminimalkan. Caranya? Ya seperti cara orang-orang Hollywood: Kalau ada tokoh busuk dari ras tertentu, hadirkan pula tokoh baik dari ras itu. Kalau tokoh dengan agama tertentu di-set sebagai antagonis, ya imbangi dengan tokoh beragama itu sebagai protagonis. 

Ide nasionalisme Indonesia kental banget di sini. Pembaca akan bisa menilai kalau penulisnya memang menggiring ke situ. Apa Mas Brahm memang sengaja begitu? Dalam novelnya akan selalu mengangkat nasionalisme?

Sebenarnya, baru kali ini lho aku menulis berkaitan dengan nasionalisme. Itu pun bukan sengaja. Aku penasaran dan tertantang menulis thriller militer. Kalau sudah berkaitan dengan orang-orang militer, mau apa lagi, tokoh-tokohnya mikirnya ya "nasionalisme", "patriotisme", "NKRI", "kepahlawanan", "rela binasa demi negara", dan hal-hal semacam itu, bukan?
Tapi, apa novel-novelku berikutnya akan selalu begini? Tidak selalu. Tergantung mood, hahaha....

Boleh cerita, bagaimana cara membangun karakter-karakternya Mas? Karena di TST ini ada tokoh-tokoh yang unik dan menarik. Misalnya Kolonel Nusa, lalu Kresna, dan ada juga Nona, cewe Papua yang trengginas juga.

Standar aja, kok. Kasih "identitas KTP", gambarkan fisiknya, sifat-sifatnya, bayangkan siapa dia di dunia nyata (bisa hasil modifikasi dari seorang teman, tokoh masyarakat, artis, atau murni imajinasi kita), lalu letakkan dia dalam alur dan bayangkan bagaimana perilakunya dalam situasi seperti itu. Jadi, deh!

Mas Brahm tipe penulis yang bikin outline dulu apa nggak? Apakah semuanya sudah terencana, atau Mas nulis mengalir saja?

Bikin, dong. Aku kan nggak jago "ndongeng mengalir spontan" seperti Stephen King. Outline bagiku seperti peta. Tanpa peta, aku bisa tersesat dan nggak sampai-sampai. Wong dengan peta aja aku masih suka muter-muter, entah itu karena memang pingin mampir sana-sini atau benar-benar tersesat.

Siapa penulis yang paling disukai dan paling berpengaruh dalam kepenulisan Mas?

Ini pertanyaan berat dan maaf kalau hanya bisa kujawab, "Entahlah." Aku suka Stephen King, Dan Brown, Anne Rice, Bram Stoker, Clara Ng, Dahlan Iskan, M. Fauzil Adhim, dll. Tapi tidak semua karya mereka aku suka. Dan aku juga tidak ingin menulis dengan gaya seperti mereka. Aneh, ya?

Sisipan-sisipan humor dalam dialog tokoh-tokoh di TST juga menarik. Ada treatment khususkah soal ini? Apakah terinspirasi dari dialog-dialog yang beneran pernah didengar? Atau spontan mengalir saja? Soalnya suka pas banget momennya. Misalnya soal debat klub sepakbola itu, dan juga soal nama kode tim penyerbu di babak akhir.

Hihihi, itu hanya buah dari berkali-kali membaca ulang naskah, sehingga sesekali muncul ide, "Kalau dibikin gini, rasanya lucu, kali ya! Kalau ditambahi gini, rasanya adegannya jadi lebih segar, nih...." Gitu aja.

Ada komentar soal genre thriller di novel Indonesia?

Masih sepi penggemar, mungkin. Pembaca kita seperti takut membaca sesuatu yang "mengerikan", yang bikin terbawa sampai mimpi. Nggak pa-palah, biar pun akibatnya adalah royalti yang tidak bisa diandalkan untuk hidup, hahaha....

Boleh kasih bocoran ke pembaca, apa nih proyek penulisan berikutnya?

Ada beberapa. Ada yang settingnya di Papua lagi, di Blora, di Semarang, atau di Kalimantan. Tapi yang sudah 20 persen, novel thriller berlatar Blora, kota kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Ini cerita dengan tokoh anak SD yang secara tiba-tiba.... ah, kapan-kapan saja ceritanya. Hehehe....

Okeeh. Sementara itu dulu Mas. Terima kasih atas waktunya. Sukses untuk tulisan berikutnya!

Sama-sama, Bro Ade. Oh ya, aku mengajak teman-teman penulis dan pembaca di ThrillerID untuk selalu saling bertukar ilmu dan saling mendukung. Demi semarak dan bervariasinya dunia literasi Indonesia. Juga demi kondusifnya iklim thriller di Indonesia.
tsugaeda

Review Novel "Tiga Sandera Terakhir"



Kaver Novel Tiga Sandera Terakhir 

Wawancara dengan penulisnya bisa di simak di sini.

Jadi, sebenarnya di Indonesia banyak banget bahan buat dijadikan cerita thriller. Kalau kita baca koran sebentar aja, kita udah bisa nemuin banyak kabar yang menyulut premis-premis keren.
Salah satunya tentang operasi-operasi militer TNI.

Sebelum ini saya, sih, sering baca biografi para mantan prajurit di medan perang. Kebanyakan memang keren-keren (contoh: bukunya Sintong Panjaitan). Tapi, saya tuh belum pernah menemukan penulis Indonesia yang mengangkatnya ke dalam fiksi murni, alias novel, dan mengemasnya jadi thriller yang nagih.

Sampai kemudian saya nemu novel “Tiga Sandera Terakhir” (TST) karya Brahmanto Anindito. Saya sebelumnya ndak kenal sama beliau (bukan karena belio yang gak terkenal, tapi lebih ke saya yang kurang pergaulan, he.he). Tapi, setelah selidik punya selidik, ternyata Mas Brahm ini bukan pertama kalinya bikin novel. Ada tiga novel lain yang terbit sebelum ini, tapi baru di novel TST ini belio membawakan tema militer. 

Sinopsisnya begini: 

Penyanderaan brutal terjadi di sebuah desa di Papua. Korbannya lima orang—warga negara Indonesia, Australia, dan Perancis. Semua telunjuk segera mengarah ke OPM, Organisasi Papua Merdeka. Namun, OPM sendiri menyangkalnya. Mereka menegaskan bahwa pihaknya sudah lama tidak menggunakan cara-cara ekstrem seperti itu, demi perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Lantas, siapa dalang penyanderaan itu? TNI enggan berteka-teki terlalu lama. Satuan Antiteror Kopassus di bawah pimpinan Kolonel Larung Nusa segera diturunkan ke Bumi Cenderawasih. Tapi, malang tak bisa ditolak. Korban malah berjatuhan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus. Salah seorang anggota bahkan dinyatakan hilang secara misterius di belantara Papua.

Kolonel Nusa mulai menyadari bahwa lawannya ini bukan sekadar milisi OPM. Melainkan pasukan khusus seperti dirinya.


Seru ya?
Tapi terus terang, sebelum membaca, saya rada skeptis. Yakin nih bikin novel militer? Ntar katro? Saya rada trauma soalnya gegara pernah nonton film Indonesia yang ngambil tema militer (perjuangan kemerdekaan gitu sih), yang menurut saya super katro, tapi sampe dibikin tiga seri. Aneh ya? KZL dah!

Tapi...
Komentar setelah baca….
Wih, ternyata TST bagus, lho!  Rapi, seru, efisien. Kelihatan Mas Brahm nggak main-main ketika merancang bangun ceritanya dan melakukan riset (data-data kemiliteran, lokasi, cukup mendetil). Saya juga salut dengan gaya Mas Brahm yang efisien dalam berkata-kata (yang mana itu bagus dalam thriller). 

Saya juga kepincut dengan sisipan-sisipan humor dalam novel serius ini. Menurutku, momennya pas. Misalnya ketika salah satu prajurit kopassus ditawan musuh, lalu diikat dan dibawa naik perahu di Sungai Mamberamo. Si prajurit yang kayaknya udah pasti bakal mampus ini malah ngelawak, nanya ini tempatnya masih jauh nggak, soalnya dia bentar lagi mau ada les gitar. 

Atau perdebatan antara prajurit-prajurit tentang siapa tim sepak bola paling oke di negara ini. Atau gimana mereka ngasih nama kode buat masing-masing untuk penyerbuan terakhir. Lawakannya pintar dan jitu, bisa menyatu dengan suasana thriller yang udah dibangun penulis sedari awal. 

Poin oke lainnya adalah gimana penulisnya menceritakan adegan-adegan aksi, mulai dari baku tembak dan baku hantam, yang cukup variatif dan tidak membosankan. Tapi, di kesempatan lain penulis juga kasih kita adegan khas thriller, yaitu ketika Tim Hantu yang sudah membawa persenjataan lengkap menuju operasi super rahasia, kena razia polisi. Di mana sebenarnya awalnya tidak terjadi perkelahian, tapi bayangan kalau sebentar lagi akan ada kekacauan membuat pembacanya deg-degan berharap jagoan-jagoan ini bisa lolos.  Saya jadi ingat adegan di bar bawah tanah film Inglorious Basterds deh. Sport jantung tuh. 

Lalu kritiknya apa..?
Ada, dong, yaitu: Kurang panjang! Hehe, tapi ini beneran deh. Saya, sebagai tukang ngomel nomer satu untuk urusan fiksi thriller (tentu ini klaim sepihak), ngerasa gatel pengen minta penulisnya mendalami lebih jauh soal tokoh-tokoh utama novel ini. Kasih drama dikit boleh laaah. Menurutku, jika ada bab-bab tambahan untuk explore itu hubungan antara Kolonel Nusa dengan anaknya, atau ceritakanlah lebih dalam lagi tentang masa lalu-masa lalu anak-anak buahnya yang sial itu. 

Saya sih pengen lebih mengenal mereka bukan hanya sebagai prajurit di medan tempur. Dan sebenarnya Mas Brahm sudah nggoda-nggoda dikit dengan kasih latar belakang-latar belakang mereka yang menurut saya sangat menarik (salah satu jagoannya itu ceritanya dipecat TNI karena kasus narkoba lalu luntang-lantung main judi dan mabok-mabokan, ini oke banget buat di-explore). Sayangnya kisahnya berhenti sampai di situ.

Oke misi mereka sukses. Jagoan-jagoan kita ini menang, lalu mereka pulang. Tapi saya juga pengen tahu gimana cerita tentang mereka-mereka ini sebagai manusia. Ada yang berubah nggak ya dari hidup mereka? Apa pengalaman di Papua ini mengubah jati diri/nasib mereka? Tentu peristiwa sedahsyat penyerbuan itu (hampir merenggut nyawa mereka semua) bikin masing-masing dari mereka merefleksikan diri dan ada pengaruhnya dong. Itu ngaruhnya gimana? Kepo euy. 

TERUTAMA TENTANG NONA PAPUA CAKEP BADASS ITU SIAPA DIA DAN KE MANE DIA NGILANGNYA YEEEE????

Tolong beri kami kejelasan, Mas!  
*nagih sekuel.
tsugaeda

Thursday, September 10, 2015

Kupas Enigma - Sesion 1


Serial kriminalitas dan police procedural seperti CSI cukup sukses di Amerika Serikat sana. Sayang, di Indonesia belum ada yang menggarapnya dengan serius. Keadaan itu berubah saat NET. TV menayangkang ENIGMA. Salut buat NET. !

Sumber: NET. TV

ENIGMA, seperti yang tertulis di website NET., adalah serial yang mengadopsi kisah drama investigasi pemburuan kasus kejahatan. Pembuat Enigma mengaku menggarap serial ini dengan serius. Seperti yang ditulis Gatra.com, Ferry Salim mengaku tertarik untuk berperan di serial ini karena penggarapannya yang serius. Bahkan, Shanker RS—produser Enigma—membuat klaim bahwa Enigma adalah serial kriminalitas terbaik di Asia.



Sumber: Gatra

Penggarapan yang serius, menjadi yang pertama dan yang terbaik di Asia, membuatku tertarik untuk menonton. Tulisan ini dibuat setelah menonton serial pertama Enigma, KASUS PEMBUNUHAN ALANA. Fokus tulisan ini adalah aspek cerita. Tanpa panjang lebar, mari kita mulai mengupas Enigma.

1. Pembukaan
Menurut Google, Enigma artinya sesuatu yang misterius atau mengandung teka-teki.

Arti EnigmaSumber: Google.com

Melihat pembukaan Enigma, sepertinya judul itu cocok karena serial ini memang menjanjikan sebuah teka-teki untuk dipecahkan oleh para tokoh dalam cerita.
Cerita dibuka dengan gambaran seorang pemulung yang berada di sebuah padang ilalang. Ia berteriak minta tolong karena menemukan sesosok mayat.

Singkat kata, cerita dibuka dengan penemuan mayat seorang wanita. Menurutku, pembukaan Enigma sangat pas (terlepas dari aspek akting si pemulung yang kaku). Seperti sebuah teka-teki, cerita ini memang seharusnya dimulai dengan pengenalan masalah. Penemuan mayat membuka gerbang berbagai pertanyaan untuk bergentayangan di benak penonton.

2. Pengenalan Tokoh
Setelah menunjukkan masalah yang harus dipecahkan, adegan berlanjut dengan pengenalan tokoh. Dimulai dengan gambaran seorang perempuan cantik berpakaian serba hitam menelepon rekan kerjanya bernama Ardi yang sedang membeli kopi.

Adegan selanjutnya, saat Ardi dihadang oleh 3 orang membuatku tersenyum. Adegan ini cukup mengusik. Aku cukup mengerti, cerita ini perlu untuk memperkenalkan tokoh Ardi: bahwa ia tampan, agak konyol, dan jago beladiri. Sayang caranya agak lebay. Bayangkan, preman kampung mana yang berani mengeroyok penyidik polisi dari divisi pembunuhan? Jika saja Ardi menunjukkan menunjukkan lencananya, ketiga orang itu mungkin akan mencium tangan Ardi lalu berlalu sambil minta maaf.

Sisanya, tokoh-tokohnya tampak klise, khas polisi seperti yang dibayangkan banyak orang. Tidak ada yang perlu digali dan diperhatikan dari para tokoh polisi. Tampaknya, produser ingin bermain aman. Mengapa tidak buat komandan yang nyelenehngga jaim , sementara anak buahnya serius?

3. Risiko
Pada adegan awal ditunjukkan bahwa sang komandan sendiri yang turun ke TKP.
Aku jadi bertanya-tanya, Sepenting itukah kasus ini? Lalu pada beberapa adegan disebutkan bahwa komandan dan para polisi ingin kasus ini cepat terungkap. Lebih hebat lagi, pada sesion pertama ini, sang komandan tidak tanggung-tanggung. Beliau menugaskan 3 orang penyidik!

Sayangnya aku tidak mendapati adegan ataupun potongan petunjuk yang menyatakan bahwa sangat penting bagi polisi untuk memecahkan kasus ini secepatnya.

Jika kau menonton film atau serial kriminalitas yang bagus, kau pasti akan ditunjukkan mengapa tokoh protagonis harus memecahkan kasus secepat mungkin. Misalnya ada pembunuhan lain yang akan segera terjadi jika kasus ini tidak terselesaikan, atau ada orang penting yang akan terkena imbas jika kasus ini tidak cepat terungkap, atau mungkin ada musibah yang lebih besar jika kasus ini tidak segera terungkap.

Namun pada Enigma, yang terbaca olehku imbasnya hanya pada ibu korban yang selalu histeris, ayah korban yang selalu tampak bingung dan menyesal, serta teman-temannya. Tidak ada risiko yang besar.

Untuk kasus seperti ini, tampaknya polisi tak perlu buru-buru. Setidaknya kesan itu yang aku dapatkan dari sesion pertama ini.

4. Cara Penjabaran Fakta
Sebagian besar pengungkapan fakta pada sesion pertama ini adalah melalui buku harian korban dan interogasi terhadap ibu dan ayah korban. Alat cerita yang dipakai adalah flashback. Jadi, saat tokoh membaca buku harian atau tokoh menjawab pertanyaan, maka penonton akan mengikutinya lewat adegan kilas balik. Efeknya, penonton akan merasa seperti mendapatkan potongan-potongan puzzle. Trik yang tepat dan cerdas!

Sayangnya, Enigma sering kebablasan. Saat kilas balik dari buku harian misalnya, aku sering melihat adegan yang tidak ada tokoh Alana di sana. Bagaimana mungkin Alana bisa menuliskan sesuatu yang tidak ia alami? Juga pada saat interogasi ibu Alana. Meskipun sang Ibu berulang kali menjawab tidak tahu atau menggelengkan kepala, tapi adegan kilas balik berhasil menayangkan kejadian. Jadilah aku bingung, benarkah adegan kilas balik itu berasal dari buku harian atau jawaban interogasi? Darimana datangnya adegan itu?

Hal ini mengingatkanku pada kesalahan para penulis pemula ketika membuat cerita dari sudut pandang orang pertama. Mereka sering kebablasan menuliskan adegan yang tidak bisa diamati oleh tokoh pencerita.

5. Otopsi
Serial kriminalitas hampir selalu punya adegan otopsi. Otopsi pada serial jenis ini bisa memberikan banyak petunjuk. Di film-film kriminalitas yang bagus, otopsi memberikan kontribusi yang besar pada pemecahan kasus. Lihatlah film CSI, forensik punya porsi dan andil yang sangat besar di sana.

Sayangnya, adegan otopsi pada Enigma terasa seperti tempelan saja, sebuah adegan yang tidak penting. Dokter yang melakukan otopsi mengatakan hal umum yang sudah diketahui penonton. "Alana tewas karena luka tembak di dada dan tewas tadi malam," demikan inti dari hasil otopsi dokter itu.
Cuma itu?
Bagaimana dengan luka di kaki kirinya? Apakah Alana ditembak dari jarak dekat atau jauh? Organ apa yang rusak? Adakah tanda-tanda kekerasan? Adakah tanda-tanda perlawanan? Sudah cek kuku korban? dan lain-lain.

Harusnya, Dokter itu bisa tampak lebih cerdas dan menyakinkan jika bisa menjelaskan petunjuk-petunjuk  yang cerdas. Lalu, saat melihat gambar ini, aku jadi tidak yakin si dokter ini kerja.
  Otopsi di Enigma
Sumber: Enigma, NET TV

Luka tembak pada tubuh Alana tampak tidak mematikan. Bagaimana korban bisa mati, Dok? Pelurunya miring hingga menembus jantung? Atau ada pembuluh darah yang kena dan korban kehabisan darah?
Aku agak yakin, dokter itu tidak bisa menjawab pertanyaanku di atas karena dia tampak tidak membedah korban. Jika saja dokter itu membedah, dengan membuat insisi Y misalnya (insisi yang lain adalah I dan T), maka bekas sayatan akan tampak seperti di bawah.
  Insisi Y

Dan ini, Halo Dok, ngapain juga ente terus-terusan elus bibir Alana? Enigma otopsi 2
Sumber: Enigma, NET.

6. Metode Investigasi
Para penyidik menjadikan buku harian korban sebagai lead untuk investigasi. Mereka mulai menyidik nama-nama yang tertera di buku harian ini. Ya, aku tahu, Enigma memang berharap untuk menebar aroma ikan hering ke banyak tokoh dengan harapan cerita akan berjalan panjang. Sebenarnya, aku agak berharap para tokoh bisa menunjukkan cara investigasi yang menarik dan mencerahkan. Sayangnya metodenya ini justru bertele-tele dan membosankan.

Mengapa tidak mulai dari kapan korban meninggal? Siapa orang terakhir yang melihat korban masih hidup? Di mana TKP (maaf, padang ilalang ada di mana-mana), berapa jauh jarak TKP dari rumah, tempat kuliah, atau tempat teman-temannya? Korban ditembak menggunakan pistol apa? Siapa kira-kira yang punya akses ke senjata semacam itu? Apakah ada jejak mesiu di tangan korban? (kalau ada, mungkin korban bunuh diri). Dan pertanyaan-pertanyaan realistis lain yang seharusnya diburu oleh polisi.

Menurutku cukup aneh, tim polisi yang berhasil menemukan orang tua dan rumah korban bertanya kepada ibu korban tentang apakah korban mempunyai adik. Lalu pada saat investigasi polisi tidak tahu kalau ibu korban sudah bercerai, dan masa sih polisi tidak mengerti bahwa kalau suami-istri bercerai dan istri tidak punya catatan kriminal atau masalah,  hak asuh anak akan jatuh kepada istri? 

Intinya, serial yang berlabel police procedural, apalagi dengan embel-embel terbaik di Asia, seharusnya bisa menampilkan adegan yang dekat dengan fakta. Tanpa hal itu, maka penonton, apalagi penggemar genre kriminalitas, tidak akan bisa menikmati cerita karena mereka merasa logika mereka dikhianati.

7. Harapan Penonton 
Sebagai penonton dari serial ini sebenarnya hanya dua hal yang aku inginkan:
Yang pertama aku ingin tahu siapa pembunuhnya? (Semoga ini bukan kasus bunuh diri, kalau bunuh diri, betapa kecewanya aku).

Yang kedua aku ingin menonton bagaimana cara para penyidik memecahkan kasus ini.
Bagi penonton, hiburan menonton serial kriminalitas adalah mengikuti tokoh polisi untuk memecahkan kasus.

Sepertinya Enigma masih terpengaruh berat dengan serial-serial drama yang tayang di Indonesia. Semoga keadaan ini bisa diperbaiki di masa depan.

Terima kasih sudah membaca.

Salam.
***
Ronny Mailindra

Ronny Mailindra adalah penulis novel thriller dan fantasi. Berdomisili di Bandung, penyandang gelar M.Sc. in eBusiness ini sehari-hari bekerja sebagai software engineer.